gangstar my life

gangstar my life

Kamis, 17 November 2011

Suporter Apa Gangster?

Dalam petualangan ayas menjelajahi dunia maya, sering kali ayas menemui posting tentang banyak hal yang membuat ayas tertarik untuk membacanya, akan tetapi hal yang sangat membuat ayas adalah apabila ada posting yang membahas tentang suporter sepakbola, khususnya suporter yang berada diwilayah Indonesia. Merka rata2 selalu membahas tentang adanya kekerasan, kerusuhan, bentrok antar suporter.
Kali ini ayas juga menemui posting yang membahas tentang supoter atau gangster? Untuk lebih lengkapnya monggo disimak, baru nanti coba berikan komentar di kolom yang ada di bawah ini menurut pendapat para pembaca sekalian bagaimana.OK?
Di bulan April yang belum selesai ini, sudah ada dua kericuhan suporter di kawasan Balkan sana. Pertama, terjadi dalam derbi Belgrade antara Red Star dan Partizan (Serbia). Kedua, dilakukan oleh suporter FK Sarajevo (Bosnia).
Sumber masalahnya sama, kecewa pada hasil laga. Sasarannya pun nyaris mirip; polisi — apabila tak ada suporter rival.
Di Serbia, keributan suporter adalah hal biasa, terutama oleh fans Red Star. Sejarahnya sangat panjang, bahkan melibatkan pemerintah pula, termasuk terkait masa perang sektarian Yugoslavia silam.
Kalau mau tahu lebih lengkap soal itu, silahkan baca buku menarik“Soccer Explains The World” karangan Franklin Foer. Mau beli atau unduh E-book-nya, itu terserah Anda.  Di negara Barat atau di kawasan Argentina-Brasil, kerusuhan suporter pun biasa terjadi. Untuk negara sepakbola yang telah maju, mungkin frekuensinya mulai menurun, mulai jarang. Kalaupun ada, kekerasannya terisolir. Misalnya di Inggris, Jerman atau Spanyol. Belakangan hanya tinggal Italia dan Belanda saja yang masih menyimpan potensi kerusuhan besar.
Di Yunani, awal 2010, kerusuhan suporter merebak di berbagai pertandingan divisi satu dan dua. Pemerintah Yunani bahkan terpaksa menghentikan dana subsidi bagi liga sebagai terapi kejut. Otoritas liga juga menghentikan sejenak roda kompetisi.
Bagaimana dengan Indonesia? Ah, Anda sudah tahu jawabannya. Tak berbeda dengan di Eropa atau Amerika Selatan. Saya tak perlu memberi contoh kasusnya. Anda bisa cari beritanya sendiri, sudah banyak kejadian seperti yang ayas sampaikan.
Tapi tahukah Anda apa perbedaan antara suporter di negara maju dengan di Indonesia?
Di Italia atau kawasan Eropa Timur, tawuran suporter selalu memiliki penyebab dasar. Ada filosofi yang bermain di sana. Misalnya antara suporter tim kawasan Utara yang makmur dengan Selatan yang kèrè. Atau praktek paling umum adalah suporter dengan aliran politik komunisme, misal Livorno, dengan rivalnya dari aliran fasisme, contoh Lazio. Ada pula misalnya Katolik dengan Protestan. Atau berbasis sektarian lainnya.
Di Serbia, perseteruan suporter Red Star dengan Partizan juga bermuatan politis perebutan kekuasaan. Red Star didukung tentara, Partizan didukung polisi. Sementara di Prancis, kerusuhan suporter bisa dipicu oleh masalah rasial. Terutama oleh suporter Paris Saint Germain yang kebanyakan anak muda berdarah Tunisia atau Aljazair. Tindakan keras polisi pada kaum minoritas itu bisa membangkitkan kerusuhan kota, seperti di awal musim Ligue 1 kemarin dulu.
Tapi di Indonesia, kerusuhan suporter nyaris tak ada pertentangan filosofi atau kecemburuan apapun, kecuali soal dendam turun temurun yang bahkan asal muasalnya pun sudah gelap atau tak jelas. Yang terjadi di Liga Indonesia seakan-akan hanya satu pemicunya; “Tim saya harus menang”. Jika kemenangan tak terwujud, mari kita bikin kerusuhan. Tragis sekali.
Di negara barat, suporter juga tak punya nama khusus hingga menjadi sebuah organisasi. Yang ada misalnya asosiasi suporter. Dan itu pun tanpa nama khusus. Pengecualian terjadi di Eropa Timur atau Brasil. Itu pun terkait faktor sosial politik. Betul, memang ada sebutan untuk pendukung Inter Milan, Real Madrid, AC Milan, Juventus, Liverpool dan sebagainya. Tapi sebutan itu kerap kali datang dari pers dan berangkat dari sebuah sejarah sosiologi kemasyarakatan setempat. Bukan disengaja dibuat oleh suporter terkait.
Namun di Indonesia, suporter justru berlomba-lomba membuat nama. Silahkan sebut mulai dari Aremania, JakMania, Viking, BonekMania dan daftar akan makin panjang. Bahkan, lucunya, mayoritas kelompok suporter itu punya struktur organisasi mulai dari ketua sampai koordinator lapangan.
Pendukung sepakbola di Indonesia juga masih lebay. Coba Anda masuk ke situs-situs berita dan lihat kolom komentar. Anda bisa temukan komentar model begini: “Ayo Internisti, jangan mau kalah sama Roma”, “Tetap semangat Juventini walau kau kemarin kalah”, “The Jak, beli dong pemain yang bagus”. Benar-benar aneh, kapan Internisti, Juventini atau The Jak punya klub sepakbola dan bermain di kompetisi reguler? Suporter di Indonesia belum bisa membedakan mana tim dan mana suporter.
Itu belum termasuk komentar-komentar miring dan kasar yang patut masuk dalam jaring moderasi. Di luar negeri, memang ada pula komentar kasar seperti itu. Terutama di Eropa Timur yg beraliran politik tertentu tadi.
Lihat bagaimana suporter Manchester United menyindir rivalnya dari Manchester City dengan cara memasang spanduk bertuliskan jumlah gelar “Setan Merah”. Atau simak komentar pendukung MU ketika timnya memukul City: “Shame on them”. Pendukung Chelsea pun hanya bernyanyi untuk menyindir Liverpool: “Lihat itu Merseyside, lihatlah kami.” Cuma sampai di situ.
Tak ada kata atau lagu “Bantai si A…hancurkan si B” dan seterusnnya. Tak ada pula suporter MU yang akan menyebut Chelsea dengan sebutan Chelshit, misalnya. Atau suporter Everton menyebut Liverpool dengan istilah Liverfool. Tentu saja, satu-dua kasus ada, tapi bukan membudaya. Bukan kebiasaan.
Suporter di Indonesia justru seperti gangster, seperti halnya di Brasil atau Eropa Timur. Tapi di Indonesia masih berbeda, karena tak ada filosofi apapun di balik pembentukan kelompok itu. Jadi jangan heran kalau lihat ada suporter sebuah tim di Liga Indonesia terjaring razia karena membawa senjata tajam. Jangan kaget pula jika ada tawuran antara suporter dengan masyarakat di satu kawasan kota. Ini terjadi karena suporter masih bermental gangster.
Parahnya, menurut pengamatan saya, mereka bukanlah penggemar sepakbola sejati. Mereka hanya menumpang keramaian seperti halnya anak-anak muda yang bikin rusuh di konser musik. Mereka bukan penikmat musik sejati. Bahkan peta persaingannya melebar hanya kepada pertarungan antar kelompok saja — entah ada bola atau tidak. Anda bisa temukan kaos ukuran anak kecil dengan suara suporter Jakarta yang isinya sangat memprovokasi rivalnya di Bandung.
Tragis sekali.
Satu hal yang pasti, kerusuhan sepakbola selalu bisa menjadi salah satu penyebab kemunduran prestasi tim atau kompetisi tertentu. Lihat bagaimana Italia tak lagi menjadi kompetisi antar klub yang disegani. Juga Red Star tak pernah lagi bermain di Liga Champions, padahal mereka pernah juara di ajang elite itu. Brasil menjadi pengecualian karena bakat alam para pemainnya mampu mengatasi tekanan dari kerusuhan suporternya.
Mengapa kita harus meniru yang buruk?
Kerusuhan suporter di Indonesia punya banyak penyebab. Yang paling utama, tak ada sanksi yang bisa membuat jera. Lihatlah bagaimana Inggris memberangus Hooliganisme. Lebih runyam lagi, sanksi sosial di Indonesia belum sebaik di negara maju. Akhirnya masyarakat yang belum dewasa menjadi asal muasal suporter. Masyarakat yang gemar tawuran, tentu akan menjadi suporter yang senang berantem pula.
Suporter di manapun punya tugas mendukung tim, bukan mengintimidasi lawan dengan tindakan berlebihan. Bukan dengan menyanyikan lagu-lagu yang bernada rasis atau penghinaan di titik nadir. Entah mengapa sulit sekali untuk tidak menghina. Entah mengapa tidak fokus pada tindakan untuk memberi semangat tim idola mereka saja. Soal itu, hanya mereka sendiri yang bisa menjawabnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar